Feed

Rusia Lirik Libya Sebagai Landasan Baru di Afrika, Gantikan Suriah


Tergulingnya sekondang Rusia Bashar al-Assad di Suriah merusak strategi Kremlin, tidak hanya untuk Mediterani, tetapi juga untuk Afrika. Hal tersebut mendorong Moskow untuk fokus pada Libya sebagai landasan baru di Afrika menggantikan posisi strategis Damaskus, menurut para ahli.

Rusia mengendalikan pelabuhan militer dan pangkalan udara di pesisir Suriah, yang dirancang untuk mendukung operasinya di Mediterania, Timur Tengah, dan Afrika sub-Sahara, khususnya di Sahel, Sudan, dan Republik Afrika Tengah.

Namun, prestise yang dimiliki Rusia mendadak sirna seiring dengan jatuhnya penguasa Suriah.

Meskipun pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, menyebut Rusia sebagai “negara penting” dan menyatakan “kami tidak ingin Rusia meninggalkan Suriah sesuai keinginan sebagian pihak,” perombakan situasi di Suriah mendorong Rusia untuk mencari alternatif strategis dengan berfokus pada Libya.

Di Libya, tentara bayaran Rusia mendukung Khalifa Haftar, seorang panglima yang menguasai wilayah timur negara itu. Mereka berperang melawan Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan didukung oleh Turki, yang berbasis di Tripoli.

Panglima militer Libya Khalifa Haftar memberi isyarat saat perayaan Hari Kemerdekaan di Benghazi, Libya, 24 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Esam Omran Al-Fetori)

Panglima militer Libya Khalifa Haftar memberi isyarat saat perayaan Hari Kemerdekaan di Benghazi, Libya, 24 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Esam Omran Al-Fetori)

“Tujuannya terutama untuk mempertahankan misi Rusia yang sedang berlangsung di Afrika,” kata Jalel Harchaoui di lembaga kajian RUSI di Inggris.

“Ini adalah refleks mempertahankan diri” bagi Rusia yang ingin “memitigasi kemerosotan posisinya di Suriah”, katanya kepada AFP.

Pada Mei 2024, konsorsium investigasi Swiss “All Eyes On Wagner” melaporkan temuan tentang aktivitas Rusia di sekitar 10 lokasi di Libya, termasuk Pelabuhan Tobruk, yang menjadi tempat pengiriman peralatan militer pada Februari dan April tahun lalu.

Pada Februari 2024, terdapat sekitar 800 tentara Rusia di Libya, jumlah ini meningkat menjadi 1.800 pada Mei.

Pada 18 Desember, Wall Street Journal mengutip pejabat Libya dan Amerika yang mengungkapkan bahwa radar dan sistem pertahanan Rusia, termasuk baterai antipesawat S-300 dan S-400, telah dipindahkan dari Suriah ke Libya.

Pelabuhan minyak Brega di Marsa Brega, sekitar 270 km sebelah barat kota Benghazi di Libya timur. (Foto: AFP)

Pelabuhan minyak Brega di Marsa Brega, sekitar 270 km sebelah barat kota Benghazi di Libya timur. (Foto: AFP)

Suara yang Signifikan

Sejak jatuhnya Assad pada 8 Desember, “sejumlah besar sumber daya militer Rusia telah dikirim ke Libya dari Belarus dan Rusia,” kata Harchaoui, sambil menambahkan bahwa pemindahan pasukan juga telah terjadi.

Pada 3 Januari, intelijen Ukraina mengklaim bahwa Moskow berencana “menggunakan kapal kargo Sparta dan Sparta II untuk mengangkut peralatan dan senjata militer” ke Libya.

Perpindahan tersebut bukan hanya sekadar menggantikan satu proksi dengan yang lain, tetapi juga merupakan pencarian “kontinuitas,” kata pakar Emadeddin Badi di situs web Atlantic Council. Ia menekankan peran Libya sebagai “komponen dalam strategi jangka panjang Moskow untuk memperluas pijakan strategis di wilayah tersebut.”

Ganggu Kepentingan Barat

Menurut Badi, “Assad memberikan Moskow pijakan di sisi timur NATO [Pakta Pertahanan Atlantik Utara] dan kesempatan untuk menguji kemampuan militer mereka.”

Haftar, menurutnya, menawarkan peluang serupa, yaitu “cara untuk mengganggu kepentingan Barat, memanfaatkan politik Libya yang terpecah, dan memperluas pengaruh Moskow ke Afrika.”

Pemerintah Tripoli dan Italia, sebagai mantan penguasa kolonial Libya, menyatakan kekhawatiran atas langkah-langkah Rusia, yang juga diawasi dengan ketat oleh Uni Eropa dan NATO.

Beberapa sumber mengatakan Amerika Serikat mencoba membujuk Haftar untuk menolak Rusia membangun pangkalan permanen di Pelabuhan Tobruk yang telah mereka idam-idamkan sejak 2023.

Tampaknya sudah jelas bahwa Kremlin akan kesulitan untuk mencapai tingkat kenyamanan yang sama di Libya seperti yang diperoleh selama pemerintahan Assad.

“Suriah itu nyaman,” kata Ulf Laessing, Kepala Program Sahel di Yayasan Konrad Adenauer yang berbasis di Bamako.

“Kotak hitam ini tidak memiliki diplomat Barat, tidak ada wartawan. Mereka pada dasarnya bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan,” katanya kepada AFP.

“Namun di Libya, situasinya akan jauh lebih rumit. Sulit untuk merahasiakan berbagai hal di sana dan kehadiran Rusia akan jauh lebih terlihat,” katanya.

Ribuan mahasiswa di Universitas Aleppo, Suriah mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dan invasi Rusia ke Ukraina dalam unjuk rasa di Aleppo, Kamis (10/3).

Ribuan mahasiswa di Universitas Aleppo, Suriah mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dan invasi Rusia ke Ukraina dalam unjuk rasa di Aleppo, Kamis (10/3).

Moskow juga harus bersaing dengan kekuatan lain, seperti Turki yang bersekutu dengan GNU, serta Mesir dan Uni Emirat Arab yang mendukung Haftar.

Di Libya, yang terpecah menjadi dua blok sejak penggulingan pemimpin lama Moamer Kadhafi pada Februari 2011, “semua pihak berusaha menjalin hubungan dengan kedua kubu,” kata Laessing.

Selama setahun terakhir, bahkan Turki bergerak mendekat ke Haftar, mencari kerja sama potensial dalam proyek ekonomi dan pertukaran diplomatik.

Rusia juga akan mempersiapkan rencana cadangan jika situasi memburuk bagi sekutunya di Libya.

“Kami tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama seperti di Suriah, bergantung pada diktator lokal tanpa memiliki alternatif,” kata Vlad Shlepchenko, koresponden militer untuk media pro-Kremlin, Tsargrad.

Sementara itu, Haftar tampaknya enggan untuk berbalik arah dari negara-negara Barat yang selama ini memberikan dukungan secara diam-diam kepadanya.

“Mungkin ada batasan terhadap apa yang dapat dilakukan Rusia di Libya,” kata Laessing. [ah/ft]



Source link

Apa Reaksimu?

Lainnya Dari BuzzFeed