Feed

Pakar: Ambang batas dihapus diharapkan perkuat demokrasi partisipatoris



Jakarta (ANTARA) – Guru Besar Ilmu Analisis Politik Universitas Jenderal Soedirman Prof. Sofa Marwah mengemukakan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold diharapkan dapat memperkuat demokrasi partisipatoris ke depannya.

Selain itu, Prof. Sofa mengatakan bahwa dalam konteks demokrasi, penghapusan ambang batas diharapkan dapat membuat partai politik menghadirkan calon yang lebih sesuai dengan harapan rakyat, bukan elite.

“Harapannya jumlah pasangan juga tidak berarti harus banyak meskipun semua partai punya peluang mencalonkan karena khawatir calon yang banyak hanya menggambarkan kepentingan kelompok atau elite semata,” kata Prof. Sofa saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Senin.

Sementara itu, mengenai jumlah pasangan yang ideal pada pemilu berikutnya, dia menjelaskan bahwa sulit untuk mengukur hal tersebut.

“Namun, calon yang dapat memenangkan secara absolute majority (mayoritas absolut, red.) secara politik akan memiliki peluang yang lebih kuat untuk secara stabil mendapatkan dukungan masyarakat luas,” jelasnya.

Baca juga: Pakar nilai kapabilitas bisa jadi syarat imbas ambang batas dihapus

Sebelumnya, pada Kamis (2/1), MK memutuskan menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

Baca juga: Perubahan wajah politik tanpa ambang batas

Baca juga: DPR dan pemerintah diminta serius tindaklanjuti putusan MK soal PT

Pewarta: Rio Feisal
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025



Source link

Apa Reaksimu?

Lainnya Dari BuzzFeed