Tahun 2025 merupakan tahun pertama lahirnya generasi baru bernama Generasi Beta. Pengamat sosial dan pakar demografi Mark McCrindle mendefinisikannya sebagai orang-orang yang lahir antara tahun 2025 dan 2039, yang kehidupannya akan dibentuk oleh dunia yang dikelilingi teknologi kecerdasan buatan dan otomatisasi.
Berbagai kemudahan dan manfaat yang diberikan oleh teknologi tersebut, pada kenyataannya, juga dibarengi dengan risiko dan tantangan bagi orang tua Gen Beta, yang diharapkan dapat mendidik dan membimbing anak-anak mereka menavigasi realitas yang baru.
Harap-harap Cemas
“Benar-benar ada dua sisi lah… AI ini menjadi salah satu ancaman atau mungkin tools yang akan membantu kita,” ungkap Aditia Hadi Saputra, yang baru menyambut kelahiran putri pertamanya pada awal Januari.
Adit, sapaan akrabnya, adalah generasi Milenial yang sudah akrab dengan perangkat kecerdasan buatan. Pekerjaannya di industri kreatif membuatnya terpapar lebih jauh pada teknologi tersebut.
Meski merasakan sendiri manfaat AI dalam mempercepat proses kerjanya, ia khawatir dampak negatif teknologi itu terhadap tumbuh kembang anaknya kelak. Alasannya, ia kerap melihat AI digunakan sebagai jalan pintas, sehingga rentan memupuk rasa malas.
“Apa-apa jadi serba instan, jadi serba shortcut, yang di mana itu kan enggak bisa kita kontrol di saat mereka sudah terpapar sama teknologi,” ungkap Adit, yang bekerja di Jakarta Selatan.
“Pemahaman orang tua tentang AI sangat penting, karena jangan sampai anak tahu lebih dulu dibandingkan orang tuanya,” imbuhnya.
Kekhawatiran lain disampaikan Raden Vinda Marcelia Dwi Putri, yang sedang menantikan kelahiran anak ketiganya dalam waktu dekat. Vinda mengaku belum menguasai teknologi AI, karena belum membutuhkannya.
Akan tetapi, ia sadar bahwa teknologi AI merupakan keniscayaan dalam kehidupan anak-anaknya kelak, terutama Generasi Beta.
“Takut nanti anaknya lebih pintar dari kita, kan? Kita takut nanti [kita] yang dibobodo (dikelabui, red.),” ujar Vinda, ibu rumah tangga Gen Millenial yang bermukim di Bandung.
Nada yang lebih optimistis disuarakan Windi Rahmanita, teman Vinda yang juga sedang menantikan kelahiran buah hatinya tahun ini.
“Syukurnya kita juga udah terbiasa dengan teknologi. Jadi excited sih dan lebih banyak melihat sisi positifnya aja untuk nanti perkembangan anak, ‘Oh [AI] ini akan lebih banyak membantu,’ gitu,” ungkap Windi, mantan wartawan yang kini berbisnis di kota kembang.
Windi dan, terutama, suaminya telah terbiasa memanfaatkan ChatGPT, teknologi AI generatif, untuk beberapa bisnis yang suaminya kelola. Ia melihat AI sebagai alat yang juga bisa digunakan untuk mangasah dan mematangkan potensi anak-anak mereka.
Meski demikian, ia juga memiliki kekhawatiran tersendiri mengenai teknologi tersebut.
“Lebih khawatir anak jadi lebih banyak interaksinya dengan gadget dibandingkan dengan interaksi sosial,” imbuhnya.
Selain itu, Windi juga mengkhawatirkan masalah etika dan adab pada era AI.
Tanggung Jawab Semua
Peneliti di Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, Yogyakarta, Bangkit Adhi Wiguna mengatakan, kehadiran AI dengan pertumbuhannya yang eksponensial patut disikapi dengan penerimaan sekaligus kewaspadaan.
Dengan segudang manfaat yang ditawarkan di berbagai aspek, dari urusan kesehatan, keuangan, pendidikan, hingga keamanan, AI juga sarat sentimen bias, yang bisa berujung pada tindak diskriminasi. Selain itu, kecerdasan buatan menimbulkan ancaman terhadap ketenagakerjaan, keamanan data pribadi, kreativitas, hingga disinformasi.
“Ada pesimisme yang memang harus kita ambil, kita harus skeptis, tapi juga ada optimisme,” kata Bangkit.
Ia mengatakan, orang tua Gen Beta harus dapat memberikan pemahaman kepada anak-anak mereka mengenai perbedaan teknologi AI dan teknologi digital lainnya, terutama mengenai otonomi yang dimiliki kecerdasan buatan. Hal itu ia harapkan khususnya dari Millenial dan Gen Z yang sudah lebih akrab, bahkan tumbuh besar, bersama media sosial dan awal kemunculan AI.
“AI itu perlu disikapi berbeda dengan teknologi digital. Jadi, kita tidak bisa mengasumsikan apa-apa saja yang diberikan oleh AI itu sepenuhnya benar, dan di situlah kemudian literasi digital ini juga perlu diturunkan kepada Gen Beta,” tuturnya.
Selain orang tua, pemerintah juga bertanggung jawab menyiapkan Generasi Beta menyambut gelombang AI ke dalam kehidupan mereka, kata Bangkit.
Gagasan serupa disampaikan Baiq Hana Susanti, direktur Artificial Intelligence Center Indonesia (AiCI). Santi, sapaan akrabnya, memimpin lembaga yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia dalam bidang AI.
“Pertama, ya, memang bagaimana menyiapkan pendidikannya, pembelajarannya, gitu. Literasi AI ini harus mulai diajarkan, mereka harus literate. Bukan hanya sebagai pengguna, tapi juga someday mereka harus jadi creator sendiri,” ungkap dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia mengatakan, lembaganya didirikan untuk merespons kealpaan kurikulum sekolah untuk mengakomodasi pendidikan teknologi kecerdasan buatan. Saat ini, AiCI memberikan kegiatan ekstrakurikuler mengenai AI dan robotik setiap akhir pekan kepada sekitar 150 anak yang mendaftar secara pribadi, serta bekerja sama dengan sejumlah sekolah untuk mengadakan ekskul AI robotik sepulang sekolah.
“Kita enggak punya gurunya, kita enggak punya kurikulumnya. Kita enggak punya AI ecosystem – kalau kami menyebutnya demikian, keterkaitan antara sekolah dan industri. Dan kita juga enggak punya study environment-nya. Jadi, iklim belajar AI itu yang belum ada,” jelas Santi.
Maka, ketika Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan rencananya untuk menambahkan mata pelajaran AI dan coding sebagai mata pelajaran pilihan di “sekolah-sekolah yang sudah siap”, Santi pun mengapresiasi.
Di sisi lain, meski paham niat baik di balik rencana tersebut, Bangkit merasa kebijakan itu tidak sesuai dengan realitas pendidikan di Indonesia, yang menurutnya “perlu perbaikan secara mendasar terlebih dahulu,” mengingat pemahaman mengenai ilmu matematika dasar yang diperlukan untuk mempelajari coding masih kurang di kalangan pelajar.
Sementara itu, ia berharap pemerintah dan para pengambil kebijakan dapat segera menyusun peraturan hukum mengenai AI di tingkat nasional, yang krusial terhadap perkembangan dan pengimplementasian teknologi AI di tanah air, terutama ketika Gen Beta akan dikelilingi oleh kecerdasan buatan yang akan semakin cerdas, bahkan bukan tidak mungkin menjadi sebuah sistem kecerdasan super buatan, atau artificial super intelligence, yang tingkat kecerdasannya melebihi manusia, seperti yang diprediksi pakar.
“Kalau kita melihat contoh negara-negara lain yang sudah memiliki aturan AI yang lebih baik, semuanya selalu dimulai dengan aturan yang sifatnya garis besar terlebih dahulu, tentang AI ini arahnya ke mana dan sebagainya, baru kemudian dibuat yang sifatnya sektoral,” urai Bangkit.
Sejauh ini, regulasi terkait AI yang dikeluarkan pemerintah masih bersifat sektoral, yaitu berupa Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 9 Tahun 2023 mengenai Etika Kecerdasan Artifisial. [rd/ab]