Kuala Lumpur (ANTARA) – “The mountains are calling and I must go” (Gunung memanggil, aku harus pergi). Demikian kutipan terkenal milik John Muir, naturalis kelahiran Skotlandia, yang dikenali sebagai Bapak Taman Nasional.
Kutipan tersebut merasuk ke hati banyak pecinta alam di berbagai belahan dunia. Wajar saat ajakan menjelajah Taman Nasional Gunung Mulu di Sarawak, Malaysia, itu datang sulit rasanya menolak.
Bagi mereka yang gemar melakukan susur gua, nama Gunung Mulu yang berstatus taman nasional sejak 1974 dan menjadi Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2000 itu mungkin tidak asing. Pegunungan karst tropis di utara Sarawak itu memang terkenal dengan gua-gua yang memiliki ruang yang besar serta lorong panjang.
Hutan primer di atasnya juga menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, menambah keunikan kawasan tersebut.
Pada minggu pertama Desember 2024, kesempatan melihat keunikan taman nasional seluas lebih dari 52 ribu hektare (ha) itu datang.
Sejumlah wartawan dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam mendapat kesempatan dari Sarawak Tourism Board (STB) untuk menjelajahi Taman Nasional Gunung Mulu.
Hutan primer dan kehati
Pemandu wisata di Taman Nasional Gunung Mulu Henry Lucin membawa rombongan untuk mendatangi dua gua di sisi selatan taman nasional. Untuk mencapainya, pada awalnya semua perlu berjalan menyusuri jalan kayu sepanjang sekitar dari 3,3 kilometer (km) menuju tempat pengamatan kelelawar yang telah disiapkan taman nasional.
Taman nasional sengaja membuat jadwal tur ke Gua Rusa dan Gua Lang hanya sekitar pukul 14.00 dan 14.30 waktu setempat (pukul 13.00 WIB) sehingga, setelah pengunjung selesai menyusuri gua di sana, bisa menyaksikan atraksi alam lainnya yang hanya terjadi saat pergantian siang dan malam.
Sepanjang perjalanan, Henry mengajak rombongan untuk berhenti beberapa kali, menjelaskan beberapa tanaman dan hewan yang ditemui seperti, belalang ranting, atau serangga ranting dengan nama latin Phasmatodea.
Serangga ini pandai menyamar sehingga jika hanya sepintas lalu melihatnya, mata akan mudah tertipu dan mengira hewan itu adalah ranting kecil saja.
Ada pula bunglon. Kadal yang memiliki kemampuan mengubah warna kulitnya menyesuaikan lingkungan tempatnya berada itu juga mudah dijumpai di sana, menempel pada dedaunan maupun kulit pohon.
Belum ada separuh perjalanan, Henry kembali berhenti. Segera ia meminta rombongan untuk senyap sesaat, sambil tangannya terampil menjangkau lembar dahan sejenis tumbuhan pisang-pisangan yang letaknya tidak jauh dari jalan kayu.
Kemudian ia meminta rombongan secara bergantian melihat ke salah satu daun yang masih menggulung seperti corong, dan terlihat kelelawar mungil sedang meringkuk tidur di dalamnya.
Kekayaan hayati (kehati) lain yang dapat dijumpai tentu saja tumbuhan endemik, ada pula yang berstatus dilindungi.
Beberapa yang terlihat di sepanjang rombongan menyusuri jalan kayu itu yakni belian (Potoxylon malagangai) yang bisa mencapai ketinggian 36 meter dengan diameter 95 sentimeter (cm). mata kuching (Dimocarpus longan) yang bisa memiliki ketinggian hingga 40 meter dengan diameter 80 cm.
Ada merkuyung (Hopea pachycarpa) berstatus rentan (vulnerable) yang dapat memiliki ketinggian hingga 40 meter dan berdiameter 80 cm. Ada pula rengas (Semecarpus bunburyanus) yang bisa mencapai ketinggian 15 meter dengan diameter 20 cm.
Pengunjung juga bisa melihat meranti putih timbul (Shorea agamii) berstatus hampir terancam punah (near threatened), yang merupakan endemik di Borneo. Pohon tersebut dapat mencapai tinggi 50 meter dengan diameter 200 cm.
Dan yang menarik, pohon ipoh (Antiaris toxicaria) berstatus dilindungi (protected), yang dapat memiliki ketinggian 50 meter dengan diameter mencapai 150 cm.
Henry menceritakan bagaimana masyarakat Suku Penan, salah satu kumpulan etnik Orang Ulu yang mendiami kawasan Gunung Mulu menggunakan getah pohon tersebut untuk melumpuhkan hewan buruan mereka.
Getah pohon ipoh akan dilumurkan di ujung anak sumpit. Saat mengenai target buruan maka racun dari getah pohon ipoh akan segera bekerja dan membuat hewan buruan tidak dapat berlari jauh.
Karenanya, kata Henry, yang juga merupakan orang Penan dan pernah merasakan sendiri berburu di dalam hutan di sana, mereka akan membiarkan hewan buruan lari setelah terkena anak sumpit. Lalu mereka akan berjalan dengan santai sambil menunggu hingga target buruannya tak berdaya.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024