Sejumlah penari yang menentang gravitasi bergerak mengikuti irama gendang di Festival Voodoo 2025 di Ouidah, Benin, baru-baru ini. Acara tahunan ini menarik ribuan pengunjung dari seluruh belahan dunia, mempertunjukkan perayaan yang meriah dari salah satu agama tertua di dunia.
Festival tahunan ini menampilkan upacara tradisional, tarian, dan ritual yang dapat memberikan wawasan mendalam tentang praktik spiritual di wilayah Afrika Barat itu,
Bagi wisatawan seperti Jaimie Lyne, analis data di Guadeloupe, festival ini menjadi penghubung yang berarti dengan sejarah leluhur. Keingintahuan Lyne tentang leluhurnya itu dipicu oleh kunjungan ibunya ke Benin pada tahun 2023, yang memperdalam hubungannya dengan warisan budaya Voodoo, atau Vodun.
“Saya kira satu hal yang ingin saya sampaikan kepada semua orang tentang budaya Vodun adalah, ini budaya yang menyatukan diri dengan tanah dan unsur-unsur alam. Bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki penjelasan tertentu, dengan semua gejala, realitas dunia, hujan, matahari dan sebagainya. Jadi sebagian besar budaya ini menunjukkan hubungan dengan semua hal dan menjadikan hal itu utuh,” ujar Lyne.
Vodun, yang merupakan salah satu agama tertua di dunia, yang berasal dari Kerajaan Dahomey, cikal bakal Benin, dan berakar pada animisme. Vodun adalah kepercayaan bahwa semua hal – dari batu, pohon, hewan, dan tempat tinggal – memiliki ruh. Vodun, yang merupaka agama resmi di Benin, dipraktikkan oleh sedikitnya satu juta orang di negara berpenduduk 13,7 juta jiwa itu.
Sejumlah pakar menilai konsep Vodun, yang dipraktikkan sebagai Voodooisme, adalah agama kuno. Juga bahwa festival ini seharusnya dihapuskan. Lainnya percaya agama ini telah disalahpahami.
Lyne mengatakan, “Satu hal yang akan dibawanya pulang ke Karibia adalah bahwa Vodun merupakan sesuatu yang harus dipelajari dan dipahami.”
Festival ini telah menarik semakin banyak wisatawan yang ingin mempelajari lebih lanjut tradisi negara di Afrika Barat itu.
Pendeta Voodoo Suzanne Celeste Delaunay Belleville mengatakan, “Ini adalah cara untuk menunjukkam kepada orang-orang tentang kemegahan, keindahan dan nilai-nilai Voodoo. Dan yang lebih penting lagi, nilai dan semangat masyarakat Benin.”
Para pedagang Eropa mendeportasi sekitar 1,5 juta budak dari Bight of Benin, sebuah wilayah yang mencakup Benin dan Togo modern, serta sebagian Nigeria modern. Kota pesisir Ouidah adalah salah satu pelabuhan perdagangan budak paling aktif di Afrika pada abad ke-18 dan ke-19. Hampir satu juta laki-laki, perempuan dan anak-anak ditangkap, dirantai dan dipaksa masuk ke kapal-kapal di sana, sebagian besar menuju ke tempat yang kelak menjadi Amerika Serikat, Brazil, dan Karibia.
Perbudakan membawa Vodun ke Amerika Serikat dan Karibia, di mana Vodun menjadi Voodoo, yang merupakan perpaduan dengan agama Katolik.
Kembali Pendeta Suzanne. “Dari Haiti ke Martinik ke Guadeloupe, ke St Lucia, ke Kuba, dan ke Brasil, dengan nama yang berbeda, tapi selalu ada Voodoo dengan sejarah yang berbeda.”
Bagi Lyne, pengalaman ini mengisi kekosongan dalam kisah keluarganya. “Menurut saya dengan semua yang telah dilihat, saya tidak melihat ini sebagai kegembiraan. Dari hari ke hari, menit ke menit, saya merasa telah belajar banyak tentang masa lalu, tentang siapa saya dan leluhur saya. Ini bukan suatu kegembiraan. Ini hanya perasaan bahwa saya mengetahui diri saya seutuhnya.”
“Vodun Days” adalah hari kembalinya agama kuno ini ke sumbernya, bagi seluruh orang Afrika. Festival ini menjadi wahana untuk kembali dan menjalani budaya, seni dan spiritualitas untuk mempraktikkan Voodoo. Ini yang penting,” ujar Wali Kota Ouidah, Christian Houetchenou.
Sejak diakui sebagai agama resmi di Benin pada Januari 1996 lalu, Vodun telah memainkan peran utama dalam identitas budaya bangsa Benin. [em/jm]